Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Ekspresi Rindu

Hari ini, aku sedang rindu. Ku beranikan diri mendatangi rumahnya sambil membawa batang kayu. Ku ketuk-ketukkan ke pagar rumahnya agar pemiliknya mendengarnya. Kemudian munculah seorang bocah laki-laki berambut cepak sambil menuntun sepeda dari rumahnya. Dia memandangku kaget. “sedang apa kau di sini?”, Tanya bocah itu. Aku menunjukkan senyumku. “sedang merindukanmu”, kataku   tanpa berpikir. Bocah itu memandangiku keheranan. Dia selalu melihatku seperti anak kecil yang minta diberi mainan. Kemudian keluar dari halaman rumahnya dengan masih menuntun sepedanya. Sesaat dia seperti mengacuhkanku. Sampai beberapa langkah ia meninggalkanku, dia berhenti dan berbalik. Sambil berkata,”sampai kapan kau mau berdiri di situ?”. Aku terkejut, lalu membuang batang kayuku dan segera mengikutinya. Selama berjalan di belakangnya, aku terus diam. Segan untuk memulai pembicaraan. Ingin sekali aku berjalan di sampingnya, tapi aku takut mengganggu lajunya mengawal sepeda. Sampai s
Berhati-hatilah sayang.. Saat hujan turun, jangan sampai kau hilang kesadaran. Karena anganmu bisa dibawa oleh kilat-kilat yang berlompatan. Dan gemuruh guntur hanya bisa menjadi tanda, anganmu telah di curi entah ke mana. Sesaat dia di bawa ke masa lalu, lalu datang lagi ke masa kini. Sedetik kemudian dia di renggut; diperosokkan ke dalam mimpi. Dia akan dilempar ke sana kemari; ke masa-masa tidak terduga dalam memori mu, sampai guntur datang memulangkannya pada mu. Kemudian kilat merampas anganmu lagi. Sampai guntur merebutnya kembali. Semua baru akan selesai hanya jika hujan berhenti. Kau tak bisa merasakan apa-apa, kecuali hangat lalu dingin. Dan dari dingin menjadi hangat lagi. Bergantian. Hati-hati sayang.. Hujan.. membuatmu menggigil karena ingatan. posted from Bloggeroid

Pengagum Rahasia

Sampai kapan cerita jita akan berjalan seperti ini sayang? Kau diam, dan aku selalu mengoceh dalam lamunan. Aku bergumam seperti orang gila, ingin mengajakmu bicara. Tapi jawabanmu selalu sepi. Tatapan matamu selalu begitu. Seperti tak bisa melihatku. Berkompromilah dengan keberadaanku sayang.. Yang selalu mengagumi hadirmu. Menginginkannya. Sapamu. Senyummu. Hatimu. Dari sudut yang di sini. Yang tertutup tirai bambu sampai mata kaki. Di balik ketidak pedulianku ini. posted from Bloggeroid

Katakan 'saja' (2)

'Dan katakan saja akulah yang membiarkan dia, bermain-main di hatiku.' Ada bekas roda ban di dekat jendela, kalu boleh memutar-mutarkannya, berlarian mengeliling kebun itu. Ada bunga-bunga bougenvile yg memekar di ketiak-ketiak dahan kayu, kau boleh memetiknya dan menyebarkannya ke seluruh isi ruangan itu. Ada buku-buku di rak dekat pintu, kau boleh memberantakannya semaumu. Ada cerita-cerita di dalamnya, kau boleh mengajarkan rumput-rumput itu membaca. Ada sepeda yang mengonggok di pojok belakang, kau boleh belajar mengendarainya sesukamu. Ada selimut yang terlipat rapi di dalam kuali, kau boleh memotong-motongnya hingga menjadi bentuk yang kau suka. Aku akan memperhatikanmu saja. Membiarkan kau tak tahu. Membiarkan aku sendiri menunggu. Hingga kau mengeluarkan suara. Jika kau ragu, tanyakan saja. Mungkin aku tahu jawabannya. "Katakan apapun, dan tambahkan 'saja' supaya kita belajar terbiasa" posted from Bloggeroid

Katakan 'saja'

Gadis kecil berparas bulat, dengan gaun merah muda munjuntai sampai lututnya, ia bermain-main di dalam imajinasi. Tak pernah ku dengar ada suara keluar darinya. Sesekali kulihat ia tersenyum, membuka mulutnya, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, melompat-lompat. Hanya suara gaduh dari tangan dan kakinya yang beradu dengan benda yang kudengar. Sesekali kulihat ia cemberut, mengerutkan dahi, atau meneteskan air mata, atau berguling-guling di tanah, tapi tak juga pernah sekalipun aku mendengarnya. Sampai suatu ketika, ia berlari ke arahku, berkata, "Hai?", sambil melihat kearahku, lalu berlari lagi meninggalkanku. Untuk kesekian kalinya kututup buku di hadapanku, dan mengintipnya dari sela pintu. "Siapa dia?", tanyaku. Kulihat dia bermain sendiri lagi dan tak menghiraukanku. 'Apa baru saja kau menyapaku?', pikirku. Kemudian aku sadar, bisa jadi tidak, karena pintu ini tak pernah terbuka. Atau hanya imajinasiku saja yang berharap ingin di sapa? Hai

The Ironic of Metaphor

Sapalah aku. Sayang.. Gadis kecil dengan rambut hitam sebahu. Berlari-lari kecil dipikiranku. Naik ke ayunan, memanjat besi panjang, menuruni perosotan, dengan wajah diam. Dia mencoba segala macam permainan. Tali, bola, batu, tongkat, dan kaleng. Tapi dia tak tertawa. Tak ada suara. Aku hanya menungguinya. Sambil mengayun-ayunkan kakiku, mengusir kebosananku. Aku akui, kami berdua sedang sama-sama bosan. Tapi untuk ikut dalam permainannya, aku sangat enggan. Gadis kecil itu, biarlah dia bermain-main dengan dirinya sendiri. Pikirku. Aku akan menunggui dia sampai dia menjadi dewasa, kemudian berbincang dengannya. Ku biarkan permainan-permainan itu rusak, berkarat, dan menghilang. Satu-persatu. Sampai dia sadar ada aku yang duduk di atas pagar dekat pintu. Tak akan ku sapa dulu, kecuali dia melihat ke arahku, dan mendekat untuk mencari tahu. Sapa aku, sayang.. Jika sudah sampai waktumu. posted from Bloggeroid

Alang dan Akasia

Sudah sangat lama aku memikirkannya. Memanglah aku tak pernah beranjak dari sudut ini. Sejak awal. Sejak kau bertemu denganku. Sejak kau mulai duduk di sampingku. Sampai kau mulai bosan. Kemudian kau pergi. Lalu yang lain datang, kemudian duduk. Menunggu sepertimu, sampai bosan. Dan akhirnya pergi. Di hari setelahnya akan datang orang lain lagi, yang sepertimu dan seperti yang satunya. Sama persis. Siklus yang mudah kau kenali. Tapi aku menulis ini hanya untuk menjelaskan. Agar kau tak salah paham. Bahwa kau mungkin melihatku berubah, tapi sebagian hatimu mengatakan aku tidak sedikitpun. Ya. Kau benar. Aku mungkin memang berubah, tapi aku tak pernah beranjak dari tempatku menancapkan diri. Seperti sebuah pohon yang menancapkan akarnya dalam-dalam ke tanah. Dan merekatkannya. Sebagai tempatmu bersinggah sementara sebelum kau melanjutkan langkahmu untuk tak kembali. Ya. Aku hanya bagian kecil dari perjalanan hidupmu yang ramai dan berliku itu. Aku hanya mengakui aku sedikit tahu te

Batas

"Hey kawan, lama tak menyapa". Ku dengar suara khas miliknya. Aku terpana. Kau? Bagaimana kau bisa mengenaliku lagi? Tanyaku dalam lamunku. Kulihat dia dari balik figura. Senyumnya yang lembut menghampiriku. Badannya semakin menebal. Pikirku. Apa kau sudah mendapatkan yang kau mau? Tanpa mengatakan apapun, aku hanya membalas senyumnya. Lalu dia membuka mulutnya, lalu tertawa kecil. "Aku merindukanmu, temanku", katanya. "Ehemm...", ku balas dengan senyumku lagi. Aku rasa aku mendengar sesuatu dari matanya. "Bagaimana kabarmu? Aku harap kau selalu bahagia". Dia masih tenang seperti yang dulu. Dengan senyum selebar itu. Dengan tatapan yang seperti itu. Kau, pasti sedang ingin mengingat masa lalu. "Apa kau selama ini duduk sendiri seperti ini? Bersandar dinding, di samping figura. Apa kau tak pernah beranjak dari tempatmu berada?", katanya heran. Lalu aku menyernyitkan dahiku. Aku heran. Apa dia benar2 pernah melupakan aku?

Dan

Duhai dan. Yang mewakili dan menemani kata. Yang menjelaskan tanpa mengingkarinya. Yang belajar percaya dan melengkapi yang sisa. Saat bersama, seolah titik tak menemui bentuknya. Membuat kita seolah satu rangkai yang membentuk takdir tanpa abstraksi. Tetapi dan. Kehidupan seolah berputar lalu berbalik kemudian menampik. Kepada dirimu, kepadaku, kepada apa yang kita lihat, juga kepada apa yang selama ini kita percaya. Saat mereka berbalik arah, akan kau temui bahwa pengingkaran itu adalah tawaran untuk persetujuan yang lain. Meskipun dan. Adalah sebagai bentuk kompromi bagi kita untuk berhenti. Aku yakin, di ruang-ruang jeda antara keduanya memperlihatkan kita tentang solusi. Ini lah yang terbaik bagimu. Bagiku. Dan. Tanpa awalan yang membuat kita ragu pada masa depan, apa kita tetap akan berjalan bersama bergandengan? Atau tetap saling memberi jeda agar masing-masing dari kita bisa dibaca? Dan pada akhirnya. Semua yang terjadi pada kita, terserah kepada kita. Konkl

Sister

Ketahuilah, serpihan-serpihan inilah yang menguatkan aku kala aku jauh darimu. Kala aku tak mendengar suara milikmu. Kala aku terjebak dalam ruang rindu. Tentang mimpi-mimpi yang kau tebarkan menjelang lelapku. Tentang tulisan-tulisan yang kau kirimkan untukku. Tentang ambisi dan mimpi. Tentang harapan-harapan yang kau bagi denganku. Walau jarak memisahkan waktu, aku tetap menyimpan memori-memori yang kau sampaikan hanya untukku. Meski memori-memori itu menyerpih, beterbangan di antara kau dan aku, akan tetap aku pungut satu persatu. Aku rangkaikan dan tandai bahwa itu darimu dan untukku. Seorang perempuan yang selalu berdiri digaris terdepan untuk menyemangatiku. Membela hidupku saat aku menyalahkan diriku. Yang mengguncang mimpi ku saat egoku terlalu tinggi. Yang meretak dan memampatkan aku, menempa dan membentukku menjadi seperti ini. Terimakasih. Atas segala perhatian dan kepeduliaanmu yang selalu lebih dari apapun. Kau yang selalu ada di setiap kekalahan dan kemenangank

Debu

mengingatmu, membuatku seperti mengingat batu. Dan cinta, yang sudah berubah menjadi debu. Aku berusaha tak peduli, tapi debuku, aku ingin temukan lagi. Aku tak tahu ia sudah terbang kemana atau menempel dimana. Serpihan-serpihannya pasti sudah menyebar ketempat yang kita tak pernah lagi bisa melihatnya. Kau tentu sudah tak peduli. Tapi debuku itu adalah milikku. Hanya aku yang tau kenapa itu indah, dan kenapa itu berharga. Aku tak memintamu untuk peduli. Tapi jika kau temukan lagi, kembalikan padaku meski cuma satu. Satu persatu akan aku kumpulkan untuk ku. Sebagai milikku yang terkikis dari mu. Aku yang dulu dan aku yang sekarang. Tetaplah aku sebagai milikku. posted from Bloggeroid

She's a Dream Catcher

Malam ini, aku duduk bersama karibku. Seorang wanita dari dunia nyata yang berteman dengan cermin kaca sepertiku. Sepanjang hari dia kelelahan membawa mimpi. Tapi matanya membara, seperti helium yang terbakar di ruang hampa. Dia adalah bagian dari orang kelelahan yang bertahan hidup dengan kekuatan ajaib. Dia, sekali lagi membulatkan tekat untuk dirinya sendiri, alih-alih untuk mimpi-mimpi orang-orang terkasihnya. Aku merekam dengan jelas, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya; Nelson Mandella pernah berkata,”Ketika aku berhasil mendaki sebuah bukit, saat itu aku sadar bahwa masih banyak bukit yang harus aku daki”. Aku pikir, aku menemukan kesamaanku dengannya. Semua orang melihat aku telah berhasil mendaki bukit. Tapi setelah aku berhasil melangkahi dengan susah payah, aku sadar bahwa masih ada bukit-bukit yang lebih tinggi, yang harus aku daki. Tepat di bawah kaki ku ini, sekarang, Dia tempatkan sebuah gunung tinggi yang aku sendiri pun tak dapat melihat punca

Cermin Kaca

Kini ku lihat dia telah menjadi mimpi bagi orang lain. Meskipun sendiri, dia tetap memantapkan diri melanjutkan langkahnya. Seperti sebuah matahari yang jauh dari bintang-bintang, tapi tetap berotasi menyinari tata surya. Untuk menjadi dia hari ini, bukanlah perjalanan yang mudah. ia pernah bermimpi menjadi elang di hutan lindung Afrika. Ia pernah bermimpi menjadi ikan hiu di Samudera Hindia. Ia pernah berencana menjadi beruang kutub di Antartika. Ia pernah berusaha menjadi paus yang mengelilingi dunia dengan sirip dan paru-parunya. Untuk menjadi dirinya hari ini, kau harus memasung mimpi-mimpi gila mu. Kau harus bertahan saat melihat teman-temanmu meloncat dan berlari sambil melihatmu yang hanya bisa berjalan tertatih. Untuk menjadi dirinya hari ini, kau harus berkelahi dengan kemarahanmu sendiri dan mengalahkannya. Untuk menjadi dirinya hari ini, kau harus melalui jalan memutar, terjal, berkelok naik dan turun, lalu terkubang dalam kolam. Untuk menjadi dirinya hari