Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Susu cokelat dan kopi

Berdiri diatas meja kayu bundar yang tua. Segelas susu cokelat dingin dan secangkir kopi hitam panas. Manis. Lalu meninggalkan pahit. Dengan aroma dan rasa yang selalu kau rindukan. Di hidungmu. Dan lidahmu. Mereka sedang berdua. Gelas yang satu menguapkan hawa dingin. Yang lain menguapkan hawa panas. bersama menanyakan kabar dunia. Saling memperbincangkan jiwa, dan menjadi perbincangan para jiwa. Segelas susu cokelat dingin dan secangkir kopi hitam panas. Nikmatilah hari-harimu berdua. Rasakan dinginnya. Lalu panasnya. Lalu biarkan rasa-rasa yang tertinggal dan yang ada, membawamu dalam petualangan baru yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya. Rasakan lekat-lekat. Untuk menghangatkan tubuh mu.

Kau

Mimpi adalah keberanian. Setiap kau bermimpi, kau sedang menyalak pada ketidak mampuan. Melepas adalah kekuatan. Setiap kau melepaskan, kau berhenti bergantung pada yang tek tergenggam. Dan bangun untuk terus berjalan adalah pesona. Setiap keberanian dan kekuatan yang mengalir dalam tubuhmu, akan selalu menjadi pesona bagi yang mengerti. Kau adalah tempat terbaik bagiku merebahkan diri. Karena kau tak bisa tumbang pada setiap kekalahan. Karena kau pemilik cerita. Bahwa kemenangan adalah bagaimana kita bisa bahagia. Bahwa hidup tanpa penyesalan adalah arena lomba tempat kita selalu menjadi pemenangnya.

Yang diam bertelinga

Dengar.. Dengarkan benar-benar.. Mereka berseteru tentang keadilan yang dirancu. Mereka sibuk berdebat tentang siapa yang pantas di bebat. Karena kebohongan yang di suarakan berulang-ulang, akan dikenali sebagai kebenaran. Entah siapa kebohongan itu. Dan hendak kemana ia pelak menancapkan belati. Entah.. Bagaimana diam dapat membungkus mengiyakan saat hati selalu ragu dalam kesalah pahaman? Jika sejak awal sampai akhir kau sudah memutuskan diam, masih perlukah kau mencuri dengar? Lalu apa guna memiliki kehendak, jika diam mu tak berdetak sebagaimana suara yang tak bisa dikenali telinga?

Shadow of a dream

Aku tak berharap lagi. Aku bilang aku sudah berhenti. Aku bilang aku tak peduli kalau pun harus menyesali. Mungkin karena takut bertekuk lutut. Atau enggan menahan beban. Mungkin juga jengah nyalar kalah. Jadi bungkam menjadi semata jalan. Jika aku tak berlari, maka aku akan membunuh diriku sendiri
Terimakasih Kau sangat tahu bahwa aku membutuhkan hujan. Karena hujan mampu menelan tangisan. Karena hujan menggantikan air yang berjatuhan. Malam ini turunkanlah hujan. Habiskan. Untuk membiarkan risau menghilang. Hujan dan petir memanggil kesedihan dan amarah. Habiskan. Malam ini aku ingin kau habiskan hujan. basuh dan hanyutkan semua yang terkenang
Cinta, Bagilah hatiku menjadi tiga Biar satu padamu tidak terbagi untuk mu Cinta, Bagilah hatiku menjadi tiga Biar satu aku simpan jika yang kedua kemudian hilang Sayangkan cintaku hanya dua Habis kuberikan pada mu dan satu kusimpan untuk diriku sendiri Karena keserakahan berkawan jalang Ia tak mengerti kalau cinta tak perlu dimiliki Bahwa terkata jika ingin punya Ia harus menyerahkan semua Tapi Ia tak bisa tak punya apa-apa
Aku kembali berdiam. Aku kembali terdiam. Didiamkan oleh kesunyian. Dibisukan oleh yang hilang. Aku kembali sendiri. Karena tak berteman dengan diri. Karena sepi membimbingku untuk memisah. Salahkan semua pada keluh dan kesah. Sungguh aku tak mau lagi kalah.

Jalanan

Dan jika kau lihat orang-orang mulai berjalan melewatimu Ketika kau kelelahan dan terus tertinggal di belakang Kau terus mengerang dalam diam Tak ada penat yg terlepas kecuali kau hengkang Dan di situlah hidupmu di uji lagi Akankah kau sabar menanti Atau terdiam menangisi diri

Ibu

Ada rindu yang menggelitik membisik hati. Ibu, aku ingin kembali. Ada resah yang membungkus rasa lelah. Ibu, aku ingin rebah. Ada hasrat yang di tahan dalam penat. Ibu, aku tak mau di babat.
Aku iri. Pada orang-orang yang selalu mengingatMu. Aku iri. Pada orang-orang yang selalu menyebut namaMu. Aku cemburu. Benar-benar cemburu. Pada orang-orang yang selalu menganggap Kau adalah milik mereka seorang. Aku ingin menjadi istimewa, seperti mereka. Tapi aku tau tak pantaslah bagiku menuntut ini dan itu. Berharap aku selalu mengingatMu dan Kau selalu ada untukku, itu sudahlah lebih dari cukup bagi hamba yang tak tau diuntung ini. Beginilah jika iman hanya tertambat seujung jari kuku. Ke neraka berteriak dan berontaklah ia, bilang tidak mau. Ke sorga, hatinya bilang masih tak pantas ini dan tak pantas itu. Beginilah nuansa senja kala matahari tenggelam dan hati mulai resah kehilangan cahaya. Tuhan selalu ada. Bahkan di lubang paling kecil dan paling gelap di hatimu. Tuhan selalu berdiam. Menunggu kau berdoa, dan menggerakkan lidahmu sendiri. Lalu masih apa lagi yang kau ingin? -Ah.. aku ingin Dia selalu bersanding- Lalu apa yang akan kau lakukan setelahnya?

Diam yang Lebih Baik

Seorang anak perempuan berlari cepat ke hadapanku. Nafasnya sengal. Matanya yang bulat bersinar, memandang ke arahku. Dengan belati yang menancap di tangan kanannya, ia mengatakan sesuatu,"kakak lihatlah!" Anak itu menunjukkan tangan kanannya. Dengan darah yang bersimbah sampai ke sikunya. Sisanya menetes di sepanjang jalan yang dia lewati. Aku berdiri terhenyak. Mataku melebar mencoba untuk mempercayai apa yang aku lihat di hadapanku. Apa yang telah kau lakukan padamu bocah kecil? Apa yang sedang terjadi? Kepalaku langsung terisi dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi aku tidak mengatakan apa pun. Anak kecil itu, dengan wajah riangnya, seperti seorang anak yang sedang memainkan permainan. Apa ini adalah permainan? Tak ada segaris kerutan pun di wajahnya yang menampakan kesakitan. Aku memandangi lukanya, lalu ke wajahnya, ke kakinya, lalu ke lukanya lagi. Tak ada luka yang lain, hanya sebuah belati yang menancap berdiri di telapak tangan kanan nya. Anak itu bahkan tak