Diam yang Lebih Baik

Seorang anak perempuan berlari cepat ke hadapanku. Nafasnya sengal. Matanya yang bulat bersinar, memandang ke arahku. Dengan belati yang menancap di tangan kanannya, ia mengatakan sesuatu,"kakak lihatlah!"
Anak itu menunjukkan tangan kanannya. Dengan darah yang bersimbah sampai ke sikunya. Sisanya menetes di sepanjang jalan yang dia lewati.

Aku berdiri terhenyak. Mataku melebar mencoba untuk mempercayai apa yang aku lihat di hadapanku. Apa yang telah kau lakukan padamu bocah kecil? Apa yang sedang terjadi? Kepalaku langsung terisi dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi aku tidak mengatakan apa pun.

Anak kecil itu, dengan wajah riangnya, seperti seorang anak yang sedang memainkan permainan. Apa ini adalah permainan? Tak ada segaris kerutan pun di wajahnya yang menampakan kesakitan. Aku memandangi lukanya, lalu ke wajahnya, ke kakinya, lalu ke lukanya lagi.

Tak ada luka yang lain, hanya sebuah belati yang menancap berdiri di telapak tangan kanan nya. Anak itu bahkan tak memegangi lukanya. Ia hanya mengarahkan tangan kanannya ke arah ku. Seperti ingin juga menusukku. Dia masih tersenyum seolah ingin aku menyanjungnya.

"Ini pasti sakit", kataku tanpa memikirkan yang lain.

"Tidak", jawabnya datar. Ia sepertinya masih menunggu perkataanku yang lain.

"Ini sakit. Berdarah dan pasti sakit sekali."

Anak itu menahan napasnya. Keningnya berkerut, seperti menahan marah.

"Apa kau tidak merasakan sakit?", tanyaku lagi penasaran.

"Tidak! Ini tidak sakit sama sekali," jawab anak itu dengan tegas. Tapi bisa kulihat ada gurat ekspresi kekhawatiran di wajahnya. Apa yang sedang ia pikirkan? Aku semakin penasaran.

"Bagaimana bisa itu tidak sakit?", tanya ku padanya lagi.

"Aku sudah membuangnya! Semua rasa sakit, aku sudah tidak punya. Ini tidak sakit sama sekali. Aku tidak perlu merasakan sakit!", katanya sambil berteriak. Mungkin ia jengkel? Atau ia mulai merasakan rasa sakit itu? Tertuduk belati yang menancap di telapak tanganmu. Darah yang deras mengalir dari celah luka itu. Kulit dan daging terobek setiap kali jari-jarimu bergerak. Aku bisa merasakannya. Membayangkan rasa sakitnya.

"Kau bisa menghilangkan rasa sakit itu dengan sendirinya? Tidak mungkin. Aku melihat kau sedang merasakan kesakitan sekarang", sanggahku karena tidak percaya. Jelas-jelas aku bisa membaca, kerutan di wajahnya bukan lagi karena marah, tapi karena sakit.

"Tidak! Kau salah! Kau salah! Aku bisa menghilangkannya! Aku sudah membuangnya! Kau tidak tahu apa-apa! Aku sudah tidak bisa merasakan rasa sakit lagi!", dia berteriak melotot ke arahku. Tangan kirinya kini memegang pergelangan tangan kanannya. Ya. Dia sedang menahan rasa sakit.

"Sekarang ikut denganku. Kita harus menyelesaikan urusan ini," kataku sambil menunjuk ke tangan kanannya. Lalu aku merangkul pundaknya untuk membawa anak itu pergi. Seseorang harus menolong anak ini. Tangan itu harus di obati.

"Tidak!", jawab anak itu ketus. Dia menolak tangan ku. Lalu dia mundur menjauhi ku, menjauhi tanganku. Sambil memegang tangan kanannya, dia lalu berlari membelakangiku.

"Kau tidak tahu apa-apa! Kau tidak boleh mengatakannya! Tidak boleh! Aku tidak lagi bisa merasakan rasa sakit!"

Itu adalah kata-kata teeakhir yang ku dengar sebelum aki kehilangan jejaknya.

Tapi aku pikir anak itu bitih pertolongan, seseorang harus menolongnya. Jadi aku putuskan untuk berlari mengejarnya. Sampai aku temui seorang laki-laki tua yang berjalan di samping rel kereta.

"Maaf apa anda melihat seorang anak kecil, perempuan, yang berlari? tangannya bersimbah darah. Bisa anda beritahu saya kemana arah dia pergi?", ku beranikan diri bertanya pada laki-laki tua itu.

Sejenak dia diam, mencoba mengingat-ingat.

"Oh.. ya! Aku melihatnya. Gadis itu mengatakan ia tidak merasakan sakit! Ah.. seseorang harus menolongnya. Jika saja ia tidak berlari, aku akan menolongnya. Luka itu sangat menakutkan. Aku pikir, pasti rasa sakitnya seperti setengah mati!", jawab orang tua itu khawatir.

"Ya.. sepertinya begitu. Apa anda melihat kemana arah dia berlari?", tanyaku lagi.

"Ke sana! Anak itu pasti menahan sakitnya setengah mati", lelaki tua itu menunjuk ke belokan di seberang rel kereta. Semoga tidak jauh lagi, pikirku.

Aku terus berlari menelusuri jalan setapak itu. Jalan itu memanjang berdampingan dengan aliran sungai.

Ah.. anak itu. Semoga ia baik-baik saja.

Tak lama setelahnya aku bertemu dengan seorang perempuan paruh baya yang membawa sekantong besar barang belanja. Nampak dia kesulitan membawanya.

Aku menghampirinya dengan tergesa-gesa. Kutanyakan apakah dia melihat seorang anak perempuan yang berlari deng tangan yang bersimbah darah?

Tanpa jeda, ia langsung menjawab,"ah! Ya anak itu! Baru saja dia berlari melewatiku! Seseorang harus menolongnya. Lukanya sangat mengerikan! Jika itu aku, pasti aku sudah mati kesakitan. Tetapi dia bilang dia tidak bisa merasakan rasa sakit. Bukankah itu mengerikan? Aku berusaha menolongnya tapi dia menolak. Dia lari ke sisi sungai. Aku tidak bisa melihatnya lagi. Bisakah kau menolongnya?"

Perempuan itu berlalu sambil terus membawa kantung belanja yang hampir menutupi seluruh wajahnya.

Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung turun ke tepian sungai. Semoga anak kecil itu tidak melakukan hal bodoh seperti masuk ke sungai. Jika dia melakukannya, dia bisa tenggelam. Dia bisa mati dan tak bisa membuktikan bahwa dia tidak bisa merasakan sakit.

Aku terus menelusuri tepian sungai. Aku lihat sosok anak itu terbaring tepat di antara air dan tanah di pinggir sungai. Aku langsung berlari mendekatinya.

"Hey.. apa kau baik-baik saja?", tanyaku.

Anak itu kelihatan menangis, matanya sembab memerah.

"Ini buruk! Sakit sekali. Rasanya seperti setengah mati! Tidak! Aku bisa mati! Lihat!) Aku tidak bisa menggerakkan seluruh badanku. Aku sudah mati. Aku pasti sudah mati!"

Suara anak itu lirih. Badannya lemas, tidak bergerak sama sekali.

"Luka seperti ini tidak akan membuatmu mati. Lihat, wajahmu masih merah dan darahnya sudah tidak mengalir sederas tadi. Sebentar lagi darahnya akan berhenti mengalir. Aku akan membawamu ke tempat yang bisa mengobatimu."

Aku berkata jujur. Luka seperti itu tidak akan membunuhnya. Belati itu tidak memotong urat nadinya.

Tapi anak itu semakin pucat. Badannya tak lagi bergerak. Tatapan matanya kosong. Hey! Ini tidak mungkin! Kau tak akan kehabisan darah hanya dengan luka kecil ini bocah!

Kemudian aku berusaha mengangkat tubuhnya. Tangannya terkulai. Iris matanya melebar. Isak tangisnya berhenti seketika.

Dingin.

Tubuhnya tidak panas. Setelah ia berlari sejauh itu. Tubuhnya tidak hangat.

Aku menahan nafasku. Aku tercekat. Itu adalah tubuh yang telah ditinggalkan oleh jiwanya.

Postingan populer dari blog ini

Say it

Pengagum Rahasia