Ekspresi Rindu
Hari ini, aku sedang rindu.
Ku beranikan diri mendatangi rumahnya sambil membawa batang
kayu. Ku ketuk-ketukkan ke pagar rumahnya agar pemiliknya mendengarnya.
Kemudian munculah seorang bocah laki-laki berambut cepak sambil menuntun sepeda
dari rumahnya.
Dia memandangku kaget. “sedang apa kau di sini?”, Tanya
bocah itu.
Aku menunjukkan senyumku. “sedang merindukanmu”, kataku tanpa berpikir.
Bocah itu memandangiku keheranan. Dia selalu melihatku
seperti anak kecil yang minta diberi mainan. Kemudian keluar dari halaman
rumahnya dengan masih menuntun sepedanya. Sesaat dia seperti mengacuhkanku.
Sampai beberapa langkah ia meninggalkanku, dia berhenti dan berbalik. Sambil
berkata,”sampai kapan kau mau berdiri di situ?”.
Aku terkejut, lalu membuang batang kayuku dan segera
mengikutinya.
Selama berjalan di belakangnya, aku terus diam. Segan untuk
memulai pembicaraan. Ingin sekali aku berjalan di sampingnya, tapi aku takut
mengganggu lajunya mengawal sepeda.
Sampai suatu ketika, langkahnya berhenti di bawah pohon.
Duduklah kami di atas batu. Disandarkannya sepeda itu di batangnya. Dia masih
diam. Sejak tadi dia tak melihat kearahku. Membuatku takut jika ia tak suka
padaku.
“apa yang ingin kau katakan?”, katanya tiba-tiba.
Aku sibuk merangkai kata, sibuk membuat cerita,
menyambungkan satu-persatu ingatan, seperti yang sudah aku rancang sebelumnya.
“Aku akan mendengarkannya.”, katanya lagi.
“hmm….. aku ingin menceritakan semuanya satu-persatu.
Dengarkan, dan apa pendapatmu nantinya?”, kata ku.
Kemudian aku mulai berbicara tentang aku,hidupku,
satu-persatu, keluh-kesah ku, amarahku, sedihku, bahagiaku, takutku, rasa
syukurku, dan semuanya. Tentang orang-orang yang hadir dalam hidupku dan yang
pergi dari hidupku. Semuanya.
Sesekali ia tersenyum,
kemudian mengerutkan dahinya, lalu mengangguk, dan menggeleng. Dia hanya
mendengarkan aku. Menatapku sesekali, lalu menatap yang lain. Menyapu pandang
ke segala arah, sambil terus memikirkan sesuatu.
Setelah sekian lama, ia akhirnya membuka suara. Wajahnya
jadi asam. Apa aku salah bicara? Pikirku.
“sebentar, bolehkah aku menyela?”
“Apa?”, Tanya ku.
“Sejak tadi aku membiarkanmu bercerita. Mendengarkan
semuanya. Engkau berkisah ini dan itu, lalu bertanya tentang ini dan tentang
itu, dan menjawab sendiri ini dan itu mu. Jika kau sudah tau, kenapa kau
menceritakannya padaku? Jika kau bisa mengatasi semuanya sendiri, kenapa kau
mencariku? Jika kau tahu semua jawabannya, kenapa kau bertanya padaku? Bukankah
di sini kita hanya membuang waktu?”
Sejenak aku terdiam.
Tak tahu harus berkata apa. Aku putar otak ku, aku pikirkan dalam-dalam
perkataannya, aku ingat-ingat apa yang baru saja aku katakan,dan aku telusuri
kembali jalan pikiranku.
“sebaiknya aku pulang saja. Aku benci menjadi tidak
berguna”.
Dia berdiri dan menghampiri sepedanya. Aku mencoba
menghentikan langkahnya. Aku tarik tangannya, dan berkata,”tak perlu
berlebihan, berhentilah menjadi terlalu serius pada dirimu”.
Dia memandang ke arahku masih dengan muka masamnya.
“Aku hanya ingin berbicara denganmu. Kau selalu benci jika
kita saling diam. Maka aku mengajakmu bicara. Kau selalu benci membicarakan hal
sepele saja. Jadi aku membicarakan hal-hal penting bagiku saja. Lalu sekarang
kau benci jika aku begini. Rasanya aku jadi serba salah. Tapi apa salahnya jika
aku bercerita? Kau hanya mendengarkannya. Di setiap kalimatnya, dengarkan saja
kalau aku ingin berlama-lama denganmu. Diam dan dengarkan, atau kau boleh
menambahkan cerita-cerita yang lain untuk menghabiskan waktumu. Apa salahnya
jika kita membicarakan hal-hal yang tidak berguna? Bukan kah yang penting kita
masih bisa saling bicara dan mendengarkan? Aku pikir yang kita butuhkan hanya
itu. Karena setahuku, kau juga selalu seperti itu. Mengurung diri dalam
pikiranmu sendiri. Kau tahu persis apa yang kau lakukan. Kau selalu bertanya
tapi kau selalu punya jawaban terbaiknya. Dan aku, selalu merasa tidak berguna.”
Dia terdiam. Sejenak sorot matanya tajam menusukku. Tapi
kemudian berubah seolah dia ingin menggapai sesuatu. Menggapai
jawaban-jawabanku. Matanya seolah sedang bertanya, dan terus bertanya.
Ditatapnya dalam-dalam mataku. Aku hanya bisa menatapnya lega. Kau sedang
tersadar akan sesuatu.
Aku katakan padanya lagi,”Apa yang sedang kau pikirkan?”
“ Tidak. Tidak apa-apa”, jawabnya sambil menundukkan kepala.
“ kalau kau ingin pulang, pulanglah. Aku anggap itu
jawabanmu”, kataku mengancam. Yang berarti aku tak akan menemuimu lagi. Aku
akan mengabaikanmu lagi. Aku akan pura-pura kau tak ada lagi.
Di tegakkannya sepedanya, lalu dia sandarkan di lenganku.
“bawa ini!”, dia menyuruhku menuntun sepedanya.
Aku terpaksa menerimanya sambil mereka-reka, apa maksudnya?
Bocah laki-laki itu berjalan memunggungiku. Aku tak bisa
menerka yang ia pikirkan. Apa yang sedang ia coba katakan? Setelah beberapa
langkah ia berbalik, seraya berkata,”sampai kapan kau akan berdiri di sana?”.
Aku sunggingkan senyumku, dia membalasnya. Dengan senyum
yang sangat tipis. Hampir-hampir aku tak bisa melihatnya karena terus ia
sembunyikan. Aku langsung menaiki sepeda itu dan mengayuhnya. Sepanjang jalan,
kami berjalan beriringan.
Perasaan ini, bertambah lega. Kau seperti menerimanya. Aku lajutkan
ceritaku tentang ini dan itu. Segala sesuatu yang lucu dan tidak berguna. Beberapakali
ia menambahkan cerita, dan kami tertawwa bersama. Sepanjang perjalanan kami
pulang, kami hanya saling berbagi cerita tidak berguna. Karena kami tahu, cerita-cerita
penting kami sudah ada akhirannya. Tak perlu di tambah dan dikurangi. Kami sudah
punya takaran kami sendiri untuk menyelesaikannya. Dan kami saling percaya,
bahwa hanya kami yang tahu takarannya.
Sampai hampir tiba di depan rumah bocah itu, aku turun dari
sepedanya. Aku sodorkan kemudi sepeda ke arahnya, tapi dia tak langsung
menerimanya.
“kau tidak mau menanyakan sesuatu?”, tanyanya tiba-tiba.
“apa?”, aku tidak mengerti maksudnya.
“tentang sepeda?”, jawabnya dengan bertanya.
“oh.. aku pikir kau tak mau aku bertanya. Sejak tadi aku hanya menduga-duga. Sesuatu
tentang jawabankan? Sesuatu tentang bergerak membuatmu seimbang, dan berhenti
membuatmu timpang? Begitu? Tapi aku rasa tidak ada hubungannya?! Iya bukan? Atau
aku salah? Atau bagaimana?”, argumenku meliar.
Kilihat dia tersenyum, lalu menimpali,” yah.. tentang ini dan
tentang itu. Kau yang menyeimbangkannya. Terima kasih”.
Seketika angin semilir meniup belakang telingaku. Tengkuk
leherku merinding. Jawaban yang indah. Aku menyukainya. Aku melebarkan senyumku
sambil membuang muka. Kami berdua tahu maksudnya.
Sampai di depan rumahnya, kami berpisah. Sebelum itu, dia
berkata,” besok?”.
“ yah..”, jawabku.
“dan lusa?”, Tanya nya.
“haruskah aku?”, Tanya ku.
“em..”, jawabnya sambil mengangguk.
“sampai kapan?”, Tanya ku untuk memperjelasnya.
“sampai kita berdua bosan”, katanya.
Mendengarnya membuatku mengerutkan dahi. “bagaimana jika aku
tak akan bosan?”, tanyaku menantangnya.
“itu akan melegakanku”, jawabnya sambil tersenyum.
Kemudian dia berbalik arah. Memunggungiku, dan kembali
kerumahnya sambil menuntun sepedanya. Aku hanya bisa tersenyum dan terus
tersenyum. Percakapan yang manis. Kau tak perlu tahu maksudnya. Karena ya.. hanya
kami yang tahu itu apa. Dan kami selalu membanggakannya. Tanpa banyak kata,
kami sudah berbicara banyak sekali.
Sejak saat itu, aku dan bocah laki-laki itu saling
mengunjungi dan bermain bersama. Sambil bercerita lewat bahasa tubuh dan tatapan mata. kami melakukannya untuk menghabiskan waktu.