Cermin Kaca



Kini ku lihat dia telah menjadi mimpi bagi orang lain. Meskipun sendiri, dia tetap memantapkan diri melanjutkan langkahnya. Seperti sebuah matahari yang jauh dari bintang-bintang, tapi tetap berotasi menyinari tata surya.

Untuk menjadi dia hari ini, bukanlah perjalanan yang mudah. ia pernah bermimpi menjadi elang di hutan lindung Afrika. Ia pernah bermimpi menjadi ikan hiu di Samudera Hindia. Ia pernah berencana menjadi beruang kutub di Antartika. Ia pernah berusaha menjadi paus yang mengelilingi dunia dengan sirip dan paru-parunya.

Untuk menjadi dirinya hari ini, kau harus memasung mimpi-mimpi gila mu. Kau harus bertahan saat melihat teman-temanmu meloncat dan berlari sambil melihatmu yang hanya bisa berjalan tertatih.
Untuk menjadi dirinya hari ini, kau harus berkelahi dengan kemarahanmu sendiri dan mengalahkannya.
Untuk menjadi dirinya hari ini, kau harus melalui jalan memutar, terjal, berkelok naik dan turun, lalu terkubang dalam kolam.
Untuk menjadi dirinya hari ini, kau harus melalui semuanya sendiri.
Untuk menjadi dirinya hari ini, kau harus berani menunggu tanpa harapan sambil terus berjalan.
Untuk menjadi dirinya hari ini, kau harus bisa menerima dirimu dan keputusan Tuhan. Kemudian terus berdoa untuk kebaikan mu dan semua orang.

Aku selalu bersamanya selama ini.
Aku bersamanya saat sebelum ia mengenal mimpi, sampai dia dikhianati oleh mimpi-mimpi, lalu kemudian ia memilih menjadi mimpi bagi orang lain alih-alih untuk berdamai pada mimpi-mimpinya yang dulu.
Butuh waktu yang lama untuk menemukan solusi perdamaian dengan keadaannya.

Dia yang dulu berdiri di sisi tebing, telah dipilihkan jalan untuknya tangga menuju lantai dua sebuah gedung di sisi kota.

Bukan perjalanan yang mudah tentu. Kau harus menempuh sendiri perjalanan hampir tiga ratus kilometer jauhnya dengan sisa-sisa kekuatan dan keberanianmu.

Sekarang, lihatlah dia. Wajahnya tetap sunyi. Dia tetap sendiri. Tetapi ada sesuatu yang dapat kau tangkap dari matanya. Ia merasa lega telah melegakan orang-orang yang dicintainya. Terbang menjadi gelembung-gelembung mimpi. Dan terus terbang untuk menjadikan dirinya mimpi yang lebih indah dan lebih tinggi.

Ia bilang,”saat kau bersamaku, aku mungkin bisa tak kehilangan diriku yang dulu. Kau, tinggalah di sisiku, untuk merekam jejak fikirku. Untuk terus mengingatkanku bahwa aku terbuat dari tanah. Tapi aku tetap akan naik tinggi. Beradu megah dengan pencakar-pencakar langit di tanah orang. Bersiaplah, bersamaku. Aku akan kembali bermimpi, meneruskan jejak untuk menjadi mimpi bagi orang-orang itu.”

Seketika aku tersenyum, lalu melebarkan lagi senyumku dan tertawa bersamanya.
Aku katakan padanya,”baiklah. Aku adalah satu-satunya jiwa di dunia ini tempatmu bisa memperlihatkan segala kelemahan dan kelebihanmu. Tempatmu tuk sembunyi dan muncul kembali menjadi orang lain, lalu berubah menjadi dirimu lagi. Akuilah bahwa hanya aku satu-satunya orang yang bisa melihatmu dalan keadaan apapun! Haha.”

Dia kembali tersenyum. Kemudian diam. Refleksi wajah diamnya yang seperti itu, dengan mata kosong, menunduk ke bawah, itu menakutkan. Tapi kemudian dia menjawab,”orang-orang memperlihatkan kelemahan mereka saat mereka berbicara tentang diri mereka sendiri. Tapi kau tidak memperlihatkan dirimu. Saat melihatmu, aku sepenuhnya hanya melihatku, teman. Dan tetap saja, aku berterimakasih padamu untuk selama ini.”

Tiba giliranku yang diam. Tertegun, tak tau mau berkata apa. Tiba-tiba di dalam otakku, ada percikan listrik yang menggiringku mengingat kembali apa yang ada dalam diriku. Lalu ku lihat dia sekali lagi, dalam-dalam.  Matanya, hidungnya, senyum di bibirnya…

Wajah itu, adalah milikku. Di depan kaca itu. Dia adalah aku. Dan aku menyatu dengan kaca. Aku adalah bayangan yang selalu menyatu bersama jiwanya.

Kesadaranku membuyarkan penglihatanku. Ku lihat rautnya sadar akan kesadaranku. Kemudian ku dengar suaranya lirih,”sekalipun kita adalah benda dan bayangan di cermin kaca. Aku pikir kita tak ada beda, teman. Kau tetap hidup dalam pikiranku dan aku selalu ada di dalam refleksimu. Sudahkah kau berdamai pada keberadaanku, teman?.”

Lamunku memecah, kacaku meretak. Oh, tidak! Dia menahan retakanku dengan kedua tangannya sampai berdarah. “Apa yang sedang kau lakukan??”,kataku.

Sambil terus menahan kaca dengan tangannya, ia berkata,”jangan pecah! Di dalam kaca ini, kau adalah kejujuran yang tak bisa aku bantahkan. Selama kau mau menerima keberadaanku, kau akan baik-baik saja dalam refleksi kaca”.

Kata-katanya seperti mantra lem yang merekatkan kembali retakan-retakan kacaku. Dan bayanganku mulai menyatu kembali. Darah di tangannya mulai mengalir kembali ke celah-celah luka miliknya, dan menutup seperti tak pernah tergores.

Aku adalah dirinya dalam dinding cermin kaca. Aku mendamaikan diriku sebagai orang kedua yang menahan kehidupan sahabatku dari dalam kaca. Aku kini menyadarinya. Alasan aku tak pernah memikirkan diriku, alasan aku tak pernah memikirkan beban hidupku, karena bebanku di tanggung olehnya sepenuhnya. Oleh sahabat manusiaku.

Ku akhiri pembicaraanku dan dia saat pertemuan itu dengan mengatakankan,”seharusnya aku yang berterimakasih padamu, karena menahanku, dan mengijinkanku tetap bisa berbicara padamu. Terimakasih telah menghidupkanku.”

Wajahnya meneduh. Dia merasa lega. Karena aku tak pergi, dan aku menerima diriku sebagai kaca. Sebagai refleksi perasaan miliknya. Tempat ia berbagi suka dan duka. Tempat ia memperlihatkan kesadaran dan kegilaannya. Saat itu pula kami berjanji satu sama lain, untuk saling menjaga rahasia. Antara seorang wanita dengan sebuah cermin di dinding kamarnya.

Postingan populer dari blog ini

Say it

Pengagum Rahasia