Cahaya Matahari (2)

Melepaskan, lalu pergi.
Menangis, menggila, lalu pura-pura lupa.
Memeluk, lalu merelakan.

Si penyihir gila terdiam dalam lamunnya.

Menangis dan menggila, si penyihir kehilangan akal sehatnya.

Memegang erat seluruh keyakinannya. Ia ikat kuat-kuat semua impiannya.
Tapi mereka tetap terbang, sebagian meledak menjadi serpihan puing, sebagian yang lain menyatu bersama air dan menguap bersama udara.

Si penyihir menangis dan menggila lagi. Karena dia tak bisa marah, tak bisa membenci, tak bisa mengkhianati, tak bisa lupa, tak bisa mencinta.

Dialah sang penyihir gila, yang membunuh dirinya. Menusukkan belati berkali-kali. Meskipun ia tahu ia tak akan bisa mati.

Itulah kutukan bagi sang penyihir gila. Karena telah berani jatuh cinta. Karena telah menjadi tamak kepada bahagia.

Dan ketika dunianya menghilang, dia kehilangan kekuatan sihirnya. Terjerembab di dalam jurang yang gelap sekali dengan banyak buaya.

"Maukah kau meminjami aku gelembung udara mu? Aku harus keluar dari tempat ini sebelum matahari tiba, atau ratu penyihir akan melenyapkan aku jika tak pulang tepat waktu", kata sang penyihir kepada raja buaya.

Dengan pakaian penuh lumpur dan wajah penuh dengan bekas luka, dia menahan sakitnya.
Tapi sang raja buaya hanya tertawa, karena ia pernah di kutuk oleh sang penyihir gila.

"Bukankah kau memiliki matahari? Gunakan kekuatan sihirmu. Bukankah kau selama ini melakukan semuanya sendiri?", tanya raja buaya menyindir sang penyihir.

Sang penyihir hanya terdiam. Dia tahu, raja buaya telah mengetahui semuanya.

"Lalu sekarang kau tak mau orang melihatmu yang terlihat menyedihkan seperti ini? Tidakkah kau mau tinggal di rawa ini saja? Tak akan ada yang tahu kau ada di sini, siang dan malam, tempat ini selalu gelap gulita. Kau tak perlu mengkhawatirkan dirimu dan mereka", kata raja buaya.

"Lalu kau akan diam-diam memakanku di sini?", tanya penyihir gila curiga.

"Tidak. Aku hanya memakan hati manusia", kata raja buaya menyombongkan diri.

"Baguslah kalau begitu. Aku akan tinggal satu malam di sini," jawab sang penyihir.

"Aku tak bisa memakan hatimu, karena sudah tidak ada"

Sang penyihir kembali diam.

"Kau tak bisa apa-apa, karena hatimu terbawa bersama matahari milikmu sebelumnya", kata raja buaya lagi.

Penyihir gila itu masih terdiam.

"Kau harus mendapatkannya kembali. keluarlah dari sini secepatnya, sebelum rawa menelan wujudmu. Ambil kembali mataharimu dari bocah itu. Ambil dan simpan kembali. Atau pulanglah kemari, akan aku bantu kau membuat dunia baru di bawah jurang. Aku juga ingin memiliki dunia yang indah seperti milikmu", kata sang raja buaya.

"Aku harus pulang ke kaki bukit. Maaf aku tak bisa terus di sini."

"Apa aku harus ikut pergi denganmu?"

"Tidak. Aku tidak tahu."

"Aku punya kekuatan sihir. Aku hanya tak punya matahari. Tapi percayalah, aku cukup bisa melindungi", sang raja buaya berusaha meyakinkan.

"Kenapa kau sangat ingin pergi denganku?", tanya penyihir gila.

"Aku ingin menghilangkan kutukanku, dan mengembalikan rawa gelap ini seperti sebelumnya. Sebelum kutukanmu melumat semuanya", kata raja buaya.

"Memang apa yang telah aku lakukan?", tanya penyihir gila.

"Apa kau sudah lupa? Baiklah.. abaikan saja sekarang, aku hanya harus membantumu mengambil kembali mataharimu itu",kata sang raja.

Lalu mereka berjalan bersama, naik dari rawa di bawah jurang dengan gelembung udara sang raja buaya.

Sesampainya di tebing jurang, sang raja buaya bertanya,"bagaimana kita akan menemukan bocah itu?".

"Aku tidak tahu, tapi aku akan menemukannya", jawab penyihir gila.

"Tapi kemana kita harus pergi?", tanya raja buaya.

"Ke tepi pantai. Kita menunggu hari menjadi gelap lagi, kita akan mencarinya di sana. Ia tak akan menjauh dari tepi pantai".

"Bagaimana kau bisa sangat yakin dengan itu?"

"Dia adalah bocah pantai. Saat malam tiba, kita harus menyelinap ke dalam mimpinya. Dan mengambil matahari itu".

"Kau yakin akan mengambilnya", tanya raja buaya.

"Ya. Kenapa tidak? Aku jadi kehilangan kekuatan sihir ku karena matahari itu membawa sebagian hatiku", jawab penyihir gila.

"Meskipun kau mungkin akan membuat dia mati?"

Sang penyihir gula terdiam sejenak, lalu dengan mantap menjawab, "ya".

Sang raja buaya hanya menunduk sambil tersenyum pahit. Seperti inilah wanita yang telah mengutuknya menjadi gila. Seorang penyihir yang mengutuknya untuk selalu jatuh cinta, karena raja buaya pernah tak sengaja mencuri sepotong kecil hati sang penyihir gila.

Raja buaya tak pernah menyangka, bahwa kutukan itu pula yang mengantarkannya ke daratan, melibatkan diri dalam resiko mati. Hati sang penyihir gila telah meracuni hatinya. Membuat matahari miliknya musnah, dan mendapatkan kutukan gila.

Sang raja buaya hanya tersenyum pahit. Suatu hari, jika ia kembali menyakiti sang penyihir gila, entah apa yang akan terjadi padanya. Pengampunan bukanlah hal yang dimiliki sang penyihir gila.

Ini hanya tentang apa yang kau perbuat, dan kau akan mendapatkan balasannya.

Dan bagi sang raja buaya, ia terkutuk. Ia hanya bisa terus menunggui, dan mengikuti sang penyihir gila. Mungkin suatu hari, sang penyihir gila mau menghilangkan racun itu. Mungkin suatu hari, sang raja buaya bisa menahan sang penyihir untuk selalu bersamanya. Agar kutukan itu berhenti. Tak membuatnya sakit lagi.

Hatinya sudah teracuni hati penyihir gila. Ia tak bisa apa-apa. Ia akan selalu jatuh cinta pada sang penyihir gila.

Postingan populer dari blog ini

Say it

Pengagum Rahasia