Bagaimana Kau Memilih Cinta

Seorang anak perempuan berambut coklat, mengenakan gaun putih mendatangiku penasaran. Aku melihatnya dengan canggung. Sepertinya aku beberapa kali melihatnya di tempat ini.

Dia berjalan mengelilingiku dengan ekspresi ingin tahu. Sejenak aku diam sambil membalas tatapannya. Tapi dia terus mengamatiku seperti ingin mencari sesuatu.

Aku tanyakan padanya,"ada apa bocah kecil? Sepertinya aku pernah melihatmu?"

Dia masih memandangku dengan mata bulat nya. Sambil tersenyum ramah.

"Kakak, kita pernah bertemu. Tapi tidak sedekat ini", tawanya pelan.

"Kau sedang menunggunya?", tanya gadis kecil itu.

"Apa?", balas ku tak paham pertanyaannya.

"Kau sedang menunggu orang itu, bukan? Tunggulah saja. Tunggulah orang itu", katanya lagi.

Aku hanya terdiam. Aku bingung. Siapa yang dia maksudkan?

"Dulu aku sering melihatnya bersamamu. Tapi sekarang tidak lagi."

Aku mulai mengerti maksudnya. Tapi aku hanya menyunggingkan senyum. Aku katakan padanya,"aku tidak menunggunya. Aku sedang menjalani hidupku."

Wajah anak itu mengerut. Bibirnya ikut mengerucut.
"Kalau begitu kenapa kakak di sini? Duduk di taman sendiri. Tempat ini biasa kalian datangi kan? Iya di kursi ini juga kan?", tanyanya dengan nada memaksa.

Aku masih saja tersenyum menangkap maksudnya. "Ini adalah tempatku. Ini adalah taman milikku. Tidaklah aneh jika aku berada di sini. Bukankah begitu?"

"Kakak kau menunggunya karena kau masih menyukainya. Ya! Kau pasti menyukainya?! Itu cinta!", katanya sembari tertawa.

Aku hanya menghela napasku. "Apa jika aku berteman, aku harus suka? Apakah itu harus cinta? Aku bukanlah orang yang seperti itu."

Dan wajahnya kembali cemberut. "Lantas apakah kakak pernah jatuh cinta?"

Aku kembali terdiam. Aku pikir anak ini benarlah masih anak-anak. Aku katakan padanya"aku akan menjelaskan sesuatu kepadamu hai gadis kecil, dengar lah baik-baik."

Lalu dia duduk di sebelahku dan diam.

"Apa yang kau maksud cinta itu? Aku tak pernah menyebutkan aku mencintai seseorang. Kata 'cinta' bagiku tak semudah itu bisa keluar dari mulutku."

"Lantas?", tambahnya.

"Aku juga tidak tahu. Tapi hatiku ini, sulit untuk membaginya. Dan sekalinya aku jatuh cinta, aku benar-benar akan jadi gila. Setiap waktu dan setiap tempat aku hanya bisa mengingatnya. Setiap mengalami kesulitan aku hanya selalu mengingatnya. Aku kan mencari-cari kelemahan ku untuk berpegang padanya. Aku akan selalu membuat alasan untuk menjadi lemah dan terus bergantung padanya. Dan itu membuatku sadar bahwa aku semakin kehilangan diriku."

Aku kembali menghela napasku. Gadis itu bahkan tak mengedipkan matanya.

"Aku sudah memutuskan untuk mengabaikannya. Cintaku ini hanya unuk Tuhanku saja", kataku

"Klise sekali", kata gadis itu sambil melipat tangannya.

Aku hanya bisa tertawa kecil. Kau tidak akan paham bocah! Sambil aku melipat tanganku pula. Tapi anak itu masih diam menunggu penjelasanku.

"Asal kau tahu saja,rasanya aku lebih bahagia", kataku sembari menatapnya.

Melihat ekspresi gadis itu seperti tidak percaya membuatku sedikit heran.

"Kenapa?", tanyaku.

"Apa?", tanya nya lagi.

"Wajahmu mengerut seperti itu?", tanya ku lagi.

"Apa? Tidak mungkin", balasnya dengan masih tidak percaya.

"Gadis kecil, aku tak mau memaksa kau untuk mengerti. Tapi hatiku ini benar aku tidak mau membaginya. Mencintai Tuhan sepenuhnya bukanlah tidak mungkin. Aku mencintai dzat yang selalu mencintai ku. Aku mencintai Tuhan yang selalu ada untukku. Yang membantu ku melalui kesulitan-kesulitanku. Yang selalu memahami ku. Yang tak pernah membagi rahasia ku pada orang lain. Yang selalu menerimaku tanpa syarat bahkan saat aku bersalah pada-Nya. Yang selalu memberiku jalan keluar dari semua rintangan hidupku. Yang juga mencintai orang-orang penting dalam hidup ku. Semua hal yang aku tak bisa, Dia selalu memberikan jalannya. Memberiku ketenangan jiwa. Sungguh aku sampai kehabisan kata untuk menjelaskan padamu. Tapi aku pikir ini sama sekali belumlah apa-apanya."

Gadis itu masih berdiri di sampingku sambil menelaah perkataan ku.

"Aku bilang akan sulit bagimu untuk paham."

"Kakak, apakah kau pernah jatuh cinta sebelumnya?"

Anak itu mengejutkanku lagi. Apa kau bisa menerima perkataan ku tadi? Dia seperti baru saja mengabaikanku.

"Kau memang seperti sedang jatuh cinta kak. Kau terlihat sangat bahagia saat membicarakan cintamu itu. Tapi tidak kah kau membutuhkankan cinta untuk kau bagi kepada manusia?",tanya anak itu lagi.

"Aku mungkin pernah, tapi aku tidak yakin. Sepertinya aku masih menyimpannya. Entah lah.. aku pernah melipat lembaran nya dengan sangat tipis dan menyelipkannya di sela buku di rak paling bawah meja kerjaku. Entah juga.. jika aku mencarinya aku berharap tak pernah menemukannya", kataku sambil tertawa pelan.

"Tidak kah kau nanti membutuhkannya kak?", tanya anak itu.

"Hemm... biarlah Tuhan yang memutuskan aku akan membutuhkannya atau tidak. Dan sejauh ini,ingatan tentang lipatan memori tipis itu berguna saat seperti ini. Saat orang lain bertanya, dan aku hanya tinggal menjawabnya. Entahlah.. aku punya, dan aku selipkan di suatu tempat di meja kerjaku. Tapi aku berharap tak pernah menemukannya. Hahaha", aku tertawa lagi.

"Lalu bagaimana nantinya kau menjalani hidupmu kak?", tanya bocah kecil itu.

"Kita lihat saja nanti, aku akan bertemu orang yang mencintai Tuhan seperti aku. Dan kita akan menghabiskan hidup dengan mencintai-Nya bersama. Mencintai Sang Abadi. Kita akan menjadi partner yang sempurna."

"Kau terlalu banyak bermimpi. Kekanak-kanakan sekali..", kata gadis itu mengerutkan dahi.

"Terserah katamu. Hanya Tuhan yang tahu. Rencana-Nya selalu penuh dengan kejutan. Semua sudah aku serahkan padanya. Dia sangat tahu aku seperti apa. Tak akan ada yang kecewa."

Gadis kecil itu hanya tertawa getir. "Dasar pemimpi!", umpatnya pelan.

"Kau cobalah duduk di sini. Sepertiku. Lihatlah dari sudut yang di sini. Tepat di sampingku ini.kau akan paham maksudku."

"Tidak. Aku sudah cukup tahu. Akan aku tunggu kabar darimu kak. Tentang orang itu juga. Di dalam sudut pandang ku, aku sudah menyisakan sedikit ruang untuk memahamimu."

"Tapi bahagianya,, kau tak dapat merasakannya jika tak dari sudut yang ini", kataku meyakinkanya.

"Aku tidak ingin paham semua. Sejak awal aku hanya mau tahu tempatmu melihat saja. Aku tak berencana duduk di situ", jelas dia membela diri.

"Baiklah", balasku. Aku hanya tersenyum getir. Sungguh aku ingin seseorang melihat dari sudut ini. Sudut yang indah. Sudut yang tak pernah menyisakan cemburu dan prasangka. Sudut yang selalu hanya jatuh cinta. Sudut yang abadi, yang tak perlu takut ditinggal pergi. Sudut yang membuatmu bahagia dan tenang di mana pun dan dengan siapa pun kau berada."

"Sampai berjumpa lagi kakak! Aku akan berbincang denganmu lain kali", kata bocah itu sambil berlari menjauhi ku.

Lambaian tangan kecil dan tawanya yang renyah. Suatu hari saat kau besar nanti, aku harap kau akan menemukan sendiri sudut yang seperti ini seperti milikku ini.

posted from Bloggeroid

Postingan populer dari blog ini

Say it

Pengagum Rahasia