Dia adalah Kkoch

Saat ini, lihatlah, seseorang sedang berdiri di tepi tebing. Curam. Dengan ombak yang menghempas, menggelayut, melubangi batu karang. Saat ini, ia hanya berdiam. Memandang kekosongan. Bukan matahari terbenam. Bukan senja yang menyingkiri cakrawala. Pada gambaran kesempurnaan alam itu, dia tak menunjukkan refleksi kekaguman. Dia datar. Memandang  tanpa batas. Kosong.

Aku hanya berdiri di belakangnya. menunggu dan mengamati. Sembari menikmati kolaborasi bumi dan matahari. Aku bertanya-tanya. Apa yang ada di dalam pikirannya?

Dia melewatkan keindahan senja yang hanya sesaat itu dengan kekosongan. Lihatlah, Ia terlalu asik dengan kekosongannya sehingga ia tak tahu bagaimana cara mengisi kekosongan.

Tapi aku tetap memilih diam. Meski ia telah membagi pandanganku menjadi dua. aku tetap enggan bertanya.

Kemudian, sesaat setelah matahari menenggelamkan diri di laut barat, ia melihat ke arahku. Samar ku lihat wajahnya yang tertutup bayang. Tapi ada gurat senyum yang terbias ke arahku.
'Indah bukan?',katanya. 
'Apa?',Pikirku. Bagaimana indah? sejak tadi dia bahkan tak menatap matahari.
'Hukum alam itu indah bukan? Bahkan saat matahari mengucapkan salam perpisahan kepada mimpi-mimpiku, ia tetap menjanjikan diri datang lagi esok pagi', katanya.
'Apa?', Aku benar-benar tak mengerti.
'Hari ini aku putuskan untuk berhenti bermimpi. terlalu sulit bagiku untuk memandanginya. terlalu silau', katanya.

Ku coba pikirkan dalam-dalam setiap kata yang ku dengar. Aku tak juga mendapatkan petunjuk.
Dia, sekalipun dengan keindahan matahari senja, tidak seperti kita. Dia adalah dia dengan dunianya. Kita tak bisa memahami dia. Karena dia dan kita berbeda. Dia bahagia. Melewatkan matahari senja begitu saja. Dia bahagia. Karena kekosongan yang kita lihat, tidaklah kosong dimatanya.


'Apa maksudmu? Ada apa dengan mimpimu? Kenapa berhenti?', ku beranikan diri bertanya.

 'Apa kau pernah merasa lelah bermimpi? Tahu kah kau ketika aku memupuskan satu, akan ada seribu mimpi yang melintasi depan mataku. mereka berkata selamat tinggal, dan tak menoleh lagi. arogan. tak memberikan harapan. tapi ada satu hal yang membuatku masih ingin bertahan. Ada satu keinginan yang memercik menggelitik hatiku.'

'Apa itu?', ku tanya lagi.

'Aku.. ingin menjadi mimpi-mimpi itu. bukan menggapainya,tapi menjadi mereka. apapun keadaanku sekarang, nantinya aku ingin menjadi mimpi bagi orang lain'.

Dengan senyum yang merekah itu, aku menyadari sebuah tanda. Dia sedang menerima dirinya. Kau tahu perbedaan antara manusia dengan yang bukan manusia? ya, pengendalian atas mimpi dan ambisi. Dia sedang mengendalikan pikirannya. kini aku menemukannya. kekosongan itu tidaklah kosong. kekosongan itu hanya diisi oleh materi yang tidak terindera oleh kita. Aku pikir mungkin dia telah mengisinya dengan baik.

Lalu haruskah aku mengatakan sesuatu? Hanya ada satu refleksi yang bisa ku biaskan dari wajahku.
Segurat senyum yang berkata,’baiklah. Apapun yang terimaji dalam benakmu, pastilah itu hal besar. Aku percaya. Karena senyum mu itu mahal. Bahkan matahari senja di depan kita tak bisa membelinya. Hanya kamu dan pemikiranmu. Di antara kamu dan imajimu. Sesuatu yang tak bisa aku indera. Tapi bisa aku percaya. Apapun itu, tetap tersenyumlah padaku. Mari kita tetap mejaga kedamaian bersama waktu’.

Postingan populer dari blog ini

Say it

Pengagum Rahasia