07-04-13
Seperti Susu
Sebelum mengenalnya, kau sudah mengerti betul ia ada. Ia
dicipta untukmu, dan kamu dicipta untuk dia. Tak bisa sehari pun kamu
melewatkan hari tanpanya. Lalu bagaimana jika kamu melewatkannya? Semudah
meminta, berteriak, dan menangis. Sebelum kamu diam, semua orang akan bergegas
mendekatkan dia padamu.
Lalu semakin lama orang-orang disekitarmu merasa bosan
dengan rengekanmu, dan mereka sedikit demi sedikit membuatmu lupa. Agar kamu
bisa bahagia tidak hanya dengan susu. Agar kamu mampu bertahan hidup jika susu
menyakitimu. Kamudian kamu terus meronta dan meminta, dan mereka tak bisa
mencegahnya. Mereka hanya bisa berharap kamu segera lupa.
Cinta itu seperti susu, kandungan gizinya mampu membuatmu
bertahan tanpa makanan lain. Rasanya manis, semanis kehidupan yang
dijanjikannya. Kental, tersaji sesuka hati, kamu bisa memesannya panas, dingin,
atau beku. Kamu bisa memilihnya dengan rasa yang beraneka, murni, strawberry,
cokelat, atau melon.
Tapi semakin lama dijejal, akan semakin terasa asam di
mulutmu. Amis. Membuatmu ingin berhenti sesekali, agar tetap selalu nikmat dalam
setiap tegukannya. Semakin hari rasa amis itu semakin terasa, sesering kamu mengalirkan
susu melalui kerongkonganmu. Susu terus mengalir ke lambungmu, memenuhinya, dan
mengasamkannya, sampai perih rasa. Membuatmu semakin cepat kenyang sekali tegukan.
Manisnya tak pernah bertambah, tapi lidahmu kelu, kemanisan.
Sejenak kamu memutuskan untuk mengistirahatkannya.
Menjauhkan susu dari hidungmu, dari mulutmu, dari kerongkonganmu, dari lambungmu.
Semakin lama, kamu semakin lupa. Semakin lama, kamu hanya mengingat
amisnya. Lalu satu, dua, tiga, sampai ratusan gelas kau tumpahkan keluar jendela.
Kamu berpikir tak akan menjejalkan susu kemulutmu lagi.
Suatu hari, kehidupanmu berubah. Kamu terjebak dalam sebuah
pabrik susu. Kamu terkunci didalamnya dan tak bisa keluar. Kamu tak tahu sampai
kapan kamu akan terkurung di dalamnya. Disela lapar dan dahaga, dalam
keterpaksaan hidupmu, kamu menelannya kembali. Mengalirkannya ke
kerongkonganmu, membasahi seluruh organ pencernakanmu. Dengan susu.
Satu gelas, dua gelas, rasa asam yang tersimpan dalam memori
otakmu, tidak juga muncul. Kamu berpikir ada yang salah dengan otakmu, tapi
ternyata tidak. Hampir genap seratus gelas kau masukkan kedalam mulutmu hanya
kenikmatan yang bisa kau kecap dalam lidahmu.
Entah apanya yang salah dengan hari itu. Tapi sesuatu
mengkhianatimu. Entah susu, entah
tubuhmu. Mereka menjadi berlawanan laju, saring menyerang, lalu memaksamu
menangiskan darah dan kekalahan dari matamu. Pedih dan lebam. Lalu dengan mudah
kamu memaafkan mereka, dan menegak susu seperti biasa. Seperti maumu.
Satu jam, dua jam, setelah lima jam baru kamu merasa.
Peperangan ini belum selesai dan masih berkobar. Kemudian mereka memaksamu
mencekat tenggorokanmu, mengeruknya, menambahinya, sampai tak berbentuk. Hanya
tersisa rasa sakit, tidak ada satu orangpun yang memahaminya. Hanya rasa sakit
yang mencegahmu menelan apapun yang ingin kamu telan.
Susu menjadi bumerang paling menyakitkan.