Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Pengakuan

PENGAGUM RAHASIA Hai! Ini aku. Sudah lama, dan sudah kesekian kalinya kau mengacuhkanku. Sejujurnya aku kecewa. Tapi aku sudah terbiasa. Kau jadikan angin lalu..tidak. aku bahkan bukan angin lalu. Aku hanya seperti partikel debu yang tidak bisa kau lihat, tidak sadar kau hirup, lalu tanpa sadar kau tahan di tenggorokanmu, dan kau hembuskan lagi keluar hidungmu. Ya.. aku seperti itu. Meskipun tiap kali kita berpapasan, tiap kali kita berbicara dengan orang yang sama, berada di tempat yang sama, kita seperti dua orang yang berada di dunia berbeda. Kau dalam gemerlap cahaya, dan aku di bawah lampu yang tidak menyala. Ingin sekali aku di sapa. Tapi apalah aku? Bahkan wujudku lebih kecil dari ukuran partikel debu. Bahkan suaraku tak lebih nyaring dari langkah kaki cicak di dinding. Hey yah.. kamu yang selalu ada di situ. Tak bisakah kau mengenali keberadaanku? Sebagai sebuah partikel debu yang ingin menempel di pundakmu. Hey yah.. kamu yang selalu diam membuang muka. Tak ...

Cahaya Matahari (2)

Melepaskan, lalu pergi. Menangis, menggila, lalu pura-pura lupa. Memeluk, lalu merelakan. Si penyihir gila terdiam dalam lamunnya. Menangis dan menggila, si penyihir kehilangan akal sehatnya. Memegang erat seluruh keyakinannya. Ia ikat kuat-kuat semua impiannya. Tapi mereka tetap terbang, sebagian meledak menjadi serpihan puing, sebagian yang lain menyatu bersama air dan menguap bersama udara. Si penyihir menangis dan menggila lagi. Karena dia tak bisa marah, tak bisa membenci, tak bisa mengkhianati, tak bisa lupa, tak bisa mencinta. Dialah sang penyihir gila, yang membunuh dirinya. Menusukkan belati berkali-kali. Meskipun ia tahu ia tak akan bisa mati. Itulah kutukan bagi sang penyihir gila. Karena telah berani jatuh cinta. Karena telah menjadi tamak kepada bahagia. Dan ketika dunianya menghilang, dia kehilangan kekuatan sihirnya. Terjerembab di dalam jurang yang gelap sekali dengan banyak buaya. "Maukah kau meminjami aku gelembung udara mu? Aku harus keluar da...

Pulang

Rasa lelah ini sudah terlalu lama. Sampai aku lupa, bahwa rasa lelah ini masih dan terus ada. Aku selalu membencinya, selalu, diremehkan, dianggap tidak ada, dianggap tak berguna, dianggap yang membuat rugi saja. Aku selalu merasakannya, menjadi yang dibuang, dilupakan, diinjak harga dirinya sampai remuk rasa. Aku selalu mendengarkannya, bahwa aku hanya untuk kepentinganmu saja, aku hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa, aku hanya anak muda yang tak punya urusan apa-apa. Aku selalu menyadarinya, menjadi yang terkecil, tak punya kuasa, yang mudah diabaikan karena tak bisa bicara, yang mudah disingkirkan karena tak punya kaki yang menancapkan dalam. Aku bisa jadi pembenci, pemalas, pendendam, pengacuh, penindas, penyuruh, pemarah, pembuang, dan pengutuk yang ulung. Tapi jika aku melakukannya, semua usahaku selama ini akan hanya sia-sia. Semua diam ku dan kerja kerasku hanya akan seperti abu dari arang yang terbakar. Aku tak akan menyisakan apa pun kecuali penyesalan. Ta...

Cerita milik mu

Semuanya tentang waktu. Tentang lamanya aku menelan kenangan tentang dirimu. Kemudian terpikirkan sisanya untuk aku membentuk diriku. Untuk menjadi lebih baik lagi. Agar bisa kau banggakan bukan hanya nanti, tapi saat ini. Aku hanya ingin menjadi jejak yang indah. Yang bersinar layaknya yang kau katakan dahulu. Aku ingin menjadi yang terbaik yang pernah kau temui. Jadi aku menempa diriku, mengasah nya, membentuk nya, memampatkan nya, memberikan warna, lalu memanaskan nya menjadi karya keramik cantik yang pernah kau ajak foto bersama. Masih kah kau menyimpan foto kita sayang? Aku hanya menyimpan kenangannya pada salah satu retakan kecil ku. Amat kecil hingga mustahil orang mengetahuinya. Tapi jujur aku bahagia. Aku ingin menjadi orang yang kau banggakan seumur hidupmu. Aku ingin menjadi keramik tercantik, dan terbaik yang pernah ada. Yang pernah sempat kau miliki. Aku akan mewujudkannya. Demi impianku menjadi yang terbaik. Mengasah diri, memperbaiki diri, dengan retakan-retak...

Lihatlah..

Gambar
Sebuah kota antah berantah. Diam-diam melambaikan tangannya padaku. Pura-pura aku tak terbujuk. Tapi aku mau. Aku ingin dirayu. Sebuah kota nun jauh di sana. Bersolek ditengah sendu malam. Ingin ditemani. Ia ingin berbagi. Sebuah kota di seberang samudra. Aku ingin kesana. Berbagi sepi. Berbagi rindu. Menyulam kalbu untuk hidup dalam waktu dan jarak yang semu. Sebuah kota dalam lamunku. Ingin ku ajarkan padanya bagaimana rindu bisa menjadi penawar sendu. Ingin ku ceritakan padanya bagaimana aku bisa berteman hidup dengan sang rindu. Sebuah kota tempat kita duduk bersama. Tempat kita berbagi cerita dan melanjutkan kata demi kata. Dia bilang dia bisa menjadi kota kita. Ya.. si kota itu, kota yang telah diam-diam membawa hati kita, lalu menyembunyikannya. posted from Bloggeroid

Bagaimana Kau Memilih Cinta

Seorang anak perempuan berambut coklat, mengenakan gaun putih mendatangiku penasaran. Aku melihatnya dengan canggung. Sepertinya aku beberapa kali melihatnya di tempat ini. Dia berjalan mengelilingiku dengan ekspresi ingin tahu. Sejenak aku diam sambil membalas tatapannya. Tapi dia terus mengamatiku seperti ingin mencari sesuatu. Aku tanyakan padanya,"ada apa bocah kecil? Sepertinya aku pernah melihatmu?" Dia masih memandangku dengan mata bulat nya. Sambil tersenyum ramah. "Kakak, kita pernah bertemu. Tapi tidak sedekat ini", tawanya pelan. "Kau sedang menunggunya?", tanya gadis kecil itu. "Apa?", balas ku tak paham pertanyaannya. "Kau sedang menunggu orang itu, bukan? Tunggulah saja. Tunggulah orang itu", katanya lagi. Aku hanya terdiam. Aku bingung. Siapa yang dia maksudkan? "Dulu aku sering melihatnya bersamamu. Tapi sekarang tidak lagi." Aku mulai mengerti maksudnya. Tapi aku hanya menyunggingkan senyu...

Sebuah prosa untuk cinta

Hari ini akan aku tuliskan sesuatu padamu. Tentang ucapan terimakasih karena telah selalu ada untuk ku. Karena kau selalu tahu semua tentang aku lebih dari diriku sendiri. Karena kau selalu berdiri di depanku saat aku ketakutan menghadapi dunia. Karena kau selalu berdiri di sampingku saat aku merasa sendiri dan ingin ditemani. Karena kau selalu berdiri di belakang ku untuk mendorong ku saat aku ingin berhenti. Karena kau selalu mengingatkan aku saat aku lupa. Karena kau selalu menyelamatkan aku setiap aku dalam bahaya. Aku masih terus berterima kasih padamu karena telah selalu memberi kesempatan aku untuk maju. Karena kau selalu percaya bahwa aku bisa lebih kuat. Sehingga aku merasa mampu menghadapi apa pun dan siap melakukannya kapan pun untuk memperjuangkan hidupku. Terima kasih karena selalu peduli padaku bahkan saat aku mengacuhkan mu. Terima kasih karena selalu menerima ku tanpa syarat jauh sebelum aku memintanya. Terima kasih karena selalu menghibur ku saat aku ter...

Terserah pada apapun itu..

Pada sore itu, seseorang datang mengetuk rumahku. Terdengar pelan tapi berkali-kali. Aku tanya, "siapa?". "Ini aku", jawab orang itu. Suaranya bergetar namun pelan. Aku buka pintu, ku lihat seorang laki-laki berwajah sayu berdiri di depanku. "Kau?", tanyaku. "Maafkan aku", jawabnya. "Wajahmu. Ada apa?", tanyaku lagi. Sejenak kau terdiam, membuatku penasaran. Apa gerangan yang ingin kau sampaikan? Kau bilang kau akan pergi. Aku hanya keheranan. "Kemana?", tanyaku. Kenapa kau harus mengatakannya padaku? "Akan aku beri tahu nanti, jika aku sudah menemukannya", jawabannya semakin membuatku bingung. "Sebenarnya ada apa?", tanya ku pelan untuk memperjelas. "Sudah aku pikirkan berkali-kali. Mungkin saat ini belum lah pada waktu ku untuk berdiam diri. Aku ingin pergi ke tempat-tempat baru, untuk belajar, untuk menjalani hidup, untuk membesar hidupku", katamu sambil menunduk. Aku menangkap ...

Ketika kita bicara

Kau pernah bilang padaku kalau kau benci gunung. Karena ia terlihat angkuh dan terlalu besar. Kau pernah bilang padaku kalau kau tak suka kuda hitam yang berlari kencang. Karena mereka terlalu bebas dan melelahkan. Kau pernah bilang padaku kalau kau tak suka bunga mawar. Karena wangi yang tak seberapa tetapi durinya bisa melukai siapa saja. Kau pernah bilang padaku kalau kau tak suka padang rumput yang terlalu luas dengan sedikit perdu. Karena kau lebih memilih kumpulan bunga di pekarangan rumahmu. Tapi aku pernah bilang padamu kalau aku menyukai semua itu. Aku suka gunung yang menjulang tinggi, karena sebesar apapun badai tak akan mampu meruntuhkanku. Aku suka kuda hitam yang berlari kencang. Karena selelah apapun mereka, mereka pasti bahagia pergi kemanapun mereka suka. Aku suka bunga mawar. Karena tankainya yang berselimut duri membuat orang lain berpikir lama untuk sembarangan memetiknya dan wanginya hanya bisa dicium bila kau benar-benar mendekat padanya. Aku suka pa...

Karet Gelang

Lingkaranku adalah lingkaran seperti sebuah karet gelang. Lingkaranku hanya mampu merenggang dan mengerut terserah dingin dari kulitku. Tapi sejujurnya, lingkaranku ini hampir tak pernah merenggang dan melebar. Seiring berjalannya waktu, aku tahu lingkaran karetku akan mengeras karena tak pernah aku renggangkan. Dan sekalinya mengeras, akan selalu ada bagian yang meretak dan kemudian lepas. Rasanya seperti kehilangan kulit dan secuil dagingmu. Sekuat tenaga kau menahannya, kau tak akan pernah bisa menghindarinya. Karena semuanya hanya tentang waktu. Karet lingkaranmu akan terus terpapar panas dan dingin lalu meretak, menjadi rapuh. Sekuat tenaga kau tahan retakan itu agar tak merapuhkanmu. Lalu kau memilih untuk terus menyecilkan lingkaranmu. Mengerutkannya untuk menutup luka. Dengan menambalnya dengan kulitmu yang lain, atau menjahit langsung robekannya. Meskipun pada akhirnya kau menjadi orang yang paling awal menyadari, bahwa luka jahitmu akan terus menjadi bekas dan tak bis...

Kilas Balik

"Kenapa kau jadi seperti ini?" Suara yang tak asing itu mengapurkan lamunku. "Apa?",tanyaku. "Kau. Jadi seperti ini. Membuat kesalahan dan membiarkannya. Lalu membuatnya lagi dan membiarkannya lagi. Semua menjadi sangat salah!", katanya marah. Aku hanya menunduk takut. Sungguh aku memang tidak tahu harus menjawab apa. Aku tahu aku salah dan masih tak melakukan apa-apa. Aku merasa seperti orang bodoh dan dungu. "Apa yang akan kau lakukan sekarang? Apa kau akan tetap diam?", tanya laki-laki itu lagi. Aku masih juga hanya diam. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Sepenuhnya aku merasa bersalah dan tak berhak sedikitpun membela diri. Karena ya.. memang akulah yang membiarkan semuanya terjadi. Setiap kali seperti ini, aku hanya bisa menangis. Menutup mata. Mengurung diri untuk menghukum diri sendiri. Semua adalah salahku! Sekuat tenaga aku menahan air yg sudah mengumpul di pelupuk mata. Aku menahannya agar tak seorang pun meliha...

Dua Cermin

Kau tahu, kita seperti sebuah cermin yang dibelah sama besar. Berdiri sama tinggi. Berhadapan lurus. Membentuk sudut yang sama. Saat kita kosong. Kita tak merefleksikan apapun kecuali bayangan kosong. Bayangan yang dalam dan semakin menjauh. Sesungguhnya sejak dulu kita tak pernah bergerak dari tempat kita berada. Kita hanya sesekali mendongak ke atas. Menunduk ke bawah. Menengok ke samping. Atau sekedar saling merefleksikan benda-benda di hadapan kita. Tak pernah membuat bosan untuk orang-orang yang membosankan seperti kita. Hanya saja, saat tak ada apapun di hadapan kita, kita hanyalah seperti ruang kosong tak berbatas. Kita tak bisa melihat apa pun tentang diri kita, kecuali lorong panjang yang menakutkan. Tapi saat segala sesuatu datang di hadapan kita, kita serasa berbagi sisi. Kita mampu melihat semua dalam wujud utuh tiga dimensi. Membuat kita selalu membanggakan diri. Bahwa hanya kita yang mampu begini. Karena hanya kita berdua yang bisa melakukannya. Karena aku dan e...